Jilbab biru yang terpajang di
etalase toko itu membuatku takjub dan terkesima. Sangat cantik. Tiba-tiba aku
ingat Icut. Betapa ia sangat menyukai warna biru. Aku pun lantas berhenti dan memasuki toko itu
berniat membelinya buat Icut. Ilham yang sedari tadi asik melihat-lihat arloji
merasa kehilanganku, ia mondar-mandir mencariku.
“Hai,
dicariin ke mana-mana taunya di sini.
Blo pue
Ndra?” tanya
Ilham, teman sekolahku itu.
“Ini,
cuma beli jilbab kok, abisnya kamu tadi asik banget melihat arloji itu, jadi
loen tinggai mantong siat,”
jawabku tak merasa bersalah.
“Keu Icut.”
“Hah
Icut?
Soe jih
Ndra?
Pacar kamu? Idieh gak nyangka
kamu sekarang udah berubah, sejak kapan kamu pacaran? biasanya
kamu paling anti sama cewek, jangankan pacaran nyentuh tangan untuk
salaman aja masih alergi, duduk berdua ama cewek aja takut, dan kamu itu bla…
bla… bla…” Ilham berkomentar sambil nyerocos terus tanpa henti, aku cuma
senyam-senyum saja.
“Tenang
Bro… tenang… aku belum menjelaskan siapa itu Icut, kamu aja yang langsung
berpikir yang enggak- enggak, Icut itu…”
“Jadi
siapa itu Icut? Cewek yang kamu naksir ya? Gimana orangnya cantik gak?”
sahutnya lagi memotong pembicaraanku.
Dasar
si Ilham kalau sudah penasaran nyerocos aja terus bukannya didengarin dulu
penjelasan kita.
“Itu
lho gadis kecil yang kuceritakan dulu.” Sahutku sambil mencoba mengingatkan
kembali kepadanya tentang kejadian beberapa bulan yang lalu.
***
Beberapa
bulan yang lalu ketika aku akan berangkat ke kantor bupati untuk menerima
beasiswa siswa berprestasi dari setiap sekolah tingkat menengah atas
sekabupaten Aceh Besar. Kebetulan dari SMA-ku aku terpilih mendapatkan beasiswa
itu. Dari desa tempat tinggalku menuju ke kantor bupati lumayan jauh sekitar
dua jam jika naik angkutan umum, tapi aku lebih suka naik sepeda motor karena
bisa lebih cepat hanya satu jam dan tidak terlalu ribet harus gonta-ganti
angkutan. Pukul 07.00 aku siap dan langsung berangkat.
Dengan
kecepatan 100 km/jam aku melajukan sepeda motorku, Udara pagi yang begitu
dingin menembus tulang-tulangku walaupun sudah memakai jaket yang tebal. Cukup
banyak kendaraan berkecepatan tinggi yang lalu lalang, karena keadaan memang
lengang. Aku asik membayangkan beasiswa yang akan aku terima, kira-kira aku
bisa membeli laptop tidak ya, barang yang selama ini aku impikan, karena
dengan barang itu aku akan lebih mudah menulis, hobi baruku. Tiba-tiba
teeeeeeeeeeet! rem kuinjak mendadak ketika ada seekor kucing melintas di
jalan, hampir saja aku menabraknya tapi untungnya masih sempat mengerem, aku
kaget dan sedikit shock juga.
Aku
kembali melanjutkan perjalanan dengan mengurangi kecepatannya, aku melajukan
sepeda motor dengan kecepatan hanya 80 km/jam, sambil menikmati pemandangan
desa yang indah tapi ketika melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 8
kurang 15 menit aku mulai khawatir terlambat karena perjalanannya masih agak
jauh, aku pun kembali ngebut. Kejadian nyaris tertabrak kucing tadi sedikit
terlupakan olehku. Jantungku berdegup makin kencang membayangkan acara
penyerahan beasiswa akan segera dimulai, dan tiba-tiba ada seorang anak
perempuan kecil berlari menyebrang jalan.. titiiiiiiiiiiiiiit ...!!! Aku tidak
bisa mengerem dan mengelak lagi sehingga braaaaaaaaaaaaak ...!!! anak
kecil itu jatuh dengan kepala terbentur ke aspal darah segar mengalir dari
kepalanya, Ibunya langsung menjerit, … “Icuuuuuuuut ..!!!”
Aku
jatuh terguling di tepi jalan yang berbatu sedangkan sepeda motorku tergeletak
di tengah jalan. Beberapa orang langsung mengamankan sepeda motorku, yang
lainnya segera mengendong bocah kecil itu ke rumah warga setempat. Sebentar
saja orang-orang sudah ramai dan langsung berkerumun. Banyak orang yang mencaci
dan memakiku bahkan hampir saja aku dikeroyok, tapi aku segera bangun dan dengan
langkah tertatih karena luka di bagian lututku aku setengah berlari menyibak
kerumunan orang untuk melihat gadis kecil itu, dia tak sadarkan diri. Aku
sangat panik dan langsung memeriksa denyut nadinya, masih hidup! Lalu kugendong
anak itu setelah meminta izin kepada Ibunya untuk langsung dilarikan ke rumah
sakit dengan
labi-labi
yang kebetulan lewat, Ibunya ikut bersamaku. Di rumah sakit kami menanti dengan
hati yang sangat galau, ketika dokter yang memeriksa keluar kami langsung menayakan
kondisinya.
“Alhamdulillah
tidak ada masalah yang serius hanya luka sobek sekitar 3 cm di kepalanya dan
sudah dijahit, dia hanya kaget dan shock,. Sekarang sudah siuman, Ibu sekarang
boleh masuk,” kata dokter.
“Terima
kasih Dok,” kataku dan Ibu itu bersamaan, dan langsung masuk
melihat gadis kecil yang kini kutahu bernama Cut Mutia, biasa dipanggil Icut
dan kutaksir usianya baru menginjak
tujuh tahun. Aku sedih melihat gadis kecil itu kini terbaring dengan
perban di kepalanya, karena ulahku.
Aku
tak henti-henti meminta maaf kepada Ibunya, yang tidak terlalu menyalahkanku,
“Memang sudah hari naasnya Icut.” Ujar Ibu Icut setiap kali aku meminta
maaf dan menyalahkan diriku.
Pada
hari itu juga Icut diperbolehkan pulang oleh dokter, setelah menebus resep obat
dan menyelesaikan administrasi rumah sakit aku segera mengantarkan Icut dan Ibunya
pulang. Tidak ada dendam Ibu itu terhadapku, bahkan ia begitu ramah. Icut pun
sudah mulai tertawa.
Aku
teringat dengan acara di kantor bupati, sudah pukul 11.00 tapi sepertinya aku
harus tetap kesana walaupun dengan kondisi yang sangat memprihatinkan,
baju yang kotor, robek dan berlumuran darah. Aku pamit kepada Icut dan Ibunya seraya
berjanji untuk kembali lagi. Icut yang sudah akrab denganku itu memintaku untuk
sering-sering datang. “Iya sayang, insya Allah.” Sahutku sambil kembali meminta
maaf kepadanya dan mengingatinya untuk tidak lupa meminum obat. Icut hanya
tertawa sambil memamerkan gigi kecilnya yang putih dan rapi.
Setelah
peristiwa itu aku dan Icut semakin dekat dan akrab layaknya Kakak dan Adik. Aku
sangat menyayanginya seperti Adik kandungku sendiri, apalagi aku tidak
mempunyai Adik. Aku sangat sering ke rumah Icut paling kurang seminggu sekali
aku akan menyempatkan diri datang ke rumah dan bermain bersamanya.
***
“Ooh
yang kamu tabrak itu, Icut toh namanya, gak cerita sih namanya Icut. Kapan mau
pergi? sama siapa?
Loen jak jeut
?”
“Ya
boleh, aku malah seneng ada teman, gimana kalo besok aja, besok kan minggu kita
tidak sekolah ?”
“Okey,
aku pengen liat yang mana sih Icut, Adik baru kamu itu.” Kata Ilham dengan
mimik penasaran.
“Okelah
kalo begitu, besok aku jemput kamu ya.”
***
Keesokan
harinya aku dan lham sudah meluncur di atas sepeda motorku dengan tidak
lupa membawa bungkusan berisi jilbab yang kemarin kubeli. Perjalanan kami lalui
dengan santai ya… semenjak kejadian itu aku telah berjanji untuk tidak akan
pernah ngebut lagi. Dan tak terasa kami sampai di rumah Icut.
Rumah
Icut yang biasanya ramai hari ini kelihatan sepi, aku berpikir mungkin
Icut pergi mengaji atau bermain di rumah temannya yang lain, aku mengetuk
pintu rumahnya, tapi tak ada sahutan.
“
Mita soe
Dek?” celetuk salah seorang tetangganya yang kebetulan lewat.
“Maaf
Bu, Ibu yang punya rumah ini dan anaknya kemana ya Bu?” tanyaku.
“Owh
Ibu itu baru saja pindah, karena gak tahan mengingat anaknya yang baru
meninggal.”
Aku
tersentak dan kaget luar biasa, tapi aku merasa tak percaya, “Maksud Ibu… Icut
…” suaraku tertahan.
“Iya
Dek, Icut tiga hari yang lalu kecelakaan ia di tabrak ama sepeda motornya anak
SMA yang suka ngebut itu. Kasian tu anak, malang benar nasibnya ia menyusul
ayahnya yang juga meninggal tertabrak.”
Serasa
disambar petir, aku lemas dan berusaha mengatur jalan oksigen untuk masuk ke
tubuhku, dadaku benar-benar menyesak mendengar berita itu, Ilham yang sedari
tadi hanya diam ikut menangis.
“Innalillahi
wainnailaihi rojiun… ya Allah…” kucoba ikhlaskan hatiku menerima kenyataan ini
sambil terus menangis lemas, walaupun baru beberapa bulan mengenalnya tapi aku
sudah merasa begitu dekat dengannya, dia adik yang paling kusayang, dan aku
hanya bisa memandang sedih jilbab biru buat Icutku, jilbab yang tak kan
pernah terpakai olehnya.