Sabtu, 11 Februari 2012

JILBAB BIRU BUAT ICUT


Jilbab biru yang terpajang di etalase toko itu membuatku takjub dan terkesima. Sangat cantik. Tiba-tiba aku ingat Icut. Betapa ia sangat menyukai warna biru. Aku pun  lantas berhenti dan memasuki toko itu berniat membelinya buat Icut. Ilham yang sedari tadi asik melihat-lihat arloji merasa kehilanganku, ia mondar-mandir mencariku.
            “Hai, dicariin ke mana-mana taunya di sini. Blo pue[1] Ndra?” tanya Ilham, teman sekolahku itu.
            “Ini, cuma beli jilbab kok, abisnya kamu tadi asik banget melihat arloji itu, jadi loen tinggai mantong siat[2],” jawabku tak merasa bersalah.
            “Jilbab? Keu soe[3]?”
            “Keu Icut.”
            “Hah Icut? Soe jih[4] Ndra? Pacar kamu? Idieh gak nyangka kamu sekarang udah berubah, sejak kapan kamu pacaran? biasanya kamu paling anti sama cewek, jangankan pacaran nyentuh tangan untuk salaman aja masih alergi, duduk berdua ama cewek aja takut, dan kamu itu bla… bla… bla…” Ilham berkomentar sambil nyerocos terus tanpa henti, aku cuma senyam-senyum saja.
            “Tenang Bro… tenang… aku belum menjelaskan siapa itu Icut, kamu aja yang langsung berpikir yang enggak- enggak, Icut itu…”
            “Jadi siapa itu Icut? Cewek yang kamu naksir ya? Gimana orangnya cantik gak?” sahutnya lagi memotong pembicaraanku.
            Dasar si Ilham kalau sudah penasaran nyerocos aja terus bukannya didengarin dulu penjelasan kita.
            “Itu lho gadis kecil yang kuceritakan dulu.” Sahutku sambil mencoba mengingatkan kembali kepadanya tentang kejadian beberapa bulan yang lalu.
***
            Beberapa bulan yang lalu ketika aku akan berangkat ke kantor  bupati untuk menerima beasiswa siswa berprestasi dari setiap sekolah tingkat menengah atas sekabupaten Aceh Besar. Kebetulan dari SMA-ku aku terpilih mendapatkan beasiswa itu. Dari desa tempat tinggalku menuju ke kantor bupati lumayan jauh sekitar dua jam jika naik angkutan umum, tapi aku lebih suka naik sepeda motor karena bisa lebih cepat hanya satu jam dan tidak terlalu ribet harus gonta-ganti angkutan. Pukul 07.00 aku siap dan langsung berangkat.
            Dengan kecepatan 100 km/jam aku melajukan sepeda motorku, Udara pagi yang begitu dingin menembus tulang-tulangku walaupun sudah memakai jaket yang tebal. Cukup banyak kendaraan berkecepatan tinggi yang lalu lalang, karena keadaan memang lengang. Aku asik membayangkan beasiswa yang akan aku terima, kira-kira aku bisa membeli laptop tidak ya, barang yang selama ini  aku impikan, karena dengan barang itu aku akan lebih mudah menulis, hobi baruku. Tiba-tiba teeeeeeeeeeet!  rem kuinjak mendadak ketika ada seekor kucing melintas di jalan, hampir saja aku menabraknya tapi untungnya masih sempat mengerem, aku kaget dan sedikit shock juga.
            Aku kembali melanjutkan perjalanan dengan mengurangi kecepatannya, aku melajukan sepeda motor dengan kecepatan hanya 80 km/jam, sambil menikmati pemandangan desa yang indah tapi ketika melihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 8 kurang 15 menit aku mulai khawatir terlambat karena perjalanannya masih agak jauh, aku pun kembali ngebut. Kejadian nyaris tertabrak kucing tadi sedikit terlupakan olehku. Jantungku berdegup makin kencang membayangkan acara penyerahan beasiswa akan segera dimulai, dan tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil berlari menyebrang jalan.. titiiiiiiiiiiiiiit ...!!! Aku tidak bisa  mengerem dan mengelak lagi sehingga braaaaaaaaaaaaak ...!!! anak kecil itu jatuh dengan kepala terbentur ke aspal darah segar mengalir dari kepalanya, Ibunya langsung menjerit, … “Icuuuuuuuut ..!!!”
            Aku jatuh terguling di tepi jalan yang berbatu sedangkan sepeda motorku tergeletak di tengah jalan. Beberapa orang langsung mengamankan sepeda motorku, yang lainnya segera mengendong bocah kecil itu ke rumah warga setempat. Sebentar saja orang-orang sudah ramai dan langsung berkerumun. Banyak orang yang mencaci dan memakiku bahkan hampir saja aku dikeroyok, tapi aku segera bangun dan dengan langkah tertatih karena luka di bagian lututku aku setengah berlari menyibak kerumunan orang untuk melihat gadis kecil itu, dia tak sadarkan diri. Aku sangat panik dan langsung memeriksa denyut nadinya, masih hidup! Lalu kugendong anak itu setelah meminta izin kepada Ibunya untuk langsung dilarikan ke rumah sakit dengan labi-labi[5] yang kebetulan lewat, Ibunya ikut bersamaku. Di rumah sakit kami menanti dengan hati yang sangat galau, ketika dokter yang memeriksa keluar kami langsung menayakan kondisinya.
            “Alhamdulillah tidak ada masalah yang serius hanya luka sobek sekitar 3 cm di kepalanya dan sudah dijahit, dia hanya kaget dan shock,. Sekarang sudah siuman, Ibu sekarang boleh masuk,” kata dokter.
            “Terima kasih Dok,” kataku dan Ibu itu bersamaan, dan langsung masuk melihat gadis kecil yang kini kutahu bernama Cut Mutia, biasa dipanggil Icut dan kutaksir usianya baru menginjak  tujuh tahun. Aku sedih melihat gadis kecil itu kini terbaring dengan perban di kepalanya, karena ulahku.
            Aku tak henti-henti meminta maaf kepada Ibunya, yang tidak terlalu menyalahkanku, “Memang sudah hari naasnya Icut.”  Ujar Ibu Icut setiap kali aku meminta maaf dan menyalahkan diriku.
            Pada hari itu juga Icut diperbolehkan pulang oleh dokter, setelah menebus resep obat dan menyelesaikan administrasi rumah sakit aku segera mengantarkan Icut dan Ibunya pulang. Tidak ada dendam Ibu itu terhadapku, bahkan ia begitu ramah. Icut pun sudah mulai tertawa.
            Aku teringat dengan acara di kantor bupati, sudah pukul 11.00 tapi sepertinya aku harus tetap kesana walaupun dengan kondisi  yang sangat memprihatinkan, baju yang kotor, robek dan berlumuran darah. Aku pamit kepada Icut dan Ibunya seraya berjanji untuk kembali lagi. Icut yang sudah akrab denganku itu memintaku untuk sering-sering datang. “Iya sayang, insya Allah.” Sahutku sambil kembali meminta maaf kepadanya dan mengingatinya untuk tidak lupa meminum obat. Icut hanya tertawa sambil memamerkan gigi kecilnya yang putih dan rapi.
            Setelah peristiwa itu aku dan Icut semakin dekat dan akrab layaknya Kakak dan Adik. Aku sangat menyayanginya seperti Adik kandungku sendiri, apalagi aku tidak mempunyai Adik. Aku sangat sering ke rumah Icut paling kurang seminggu sekali aku akan menyempatkan diri datang ke rumah dan bermain bersamanya.
***
            “Ooh yang kamu tabrak itu, Icut toh namanya, gak cerita sih namanya Icut. Kapan mau pergi? sama siapa? Loen jak jeut[6] ?”
            “Ya boleh, aku malah seneng ada teman, gimana kalo besok aja, besok kan minggu kita tidak sekolah ?”
            “Okey, aku pengen liat yang mana sih Icut, Adik baru kamu itu.” Kata Ilham dengan mimik penasaran.
            “Okelah kalo begitu, besok aku jemput kamu ya.”
***
            Keesokan harinya aku dan lham  sudah meluncur di atas sepeda motorku dengan tidak lupa membawa bungkusan berisi jilbab yang kemarin kubeli. Perjalanan kami lalui dengan santai ya… semenjak kejadian itu aku telah berjanji untuk tidak akan pernah ngebut lagi. Dan tak terasa kami sampai di rumah Icut.
            Rumah Icut yang biasanya ramai hari ini kelihatan sepi, aku berpikir mungkin Icut  pergi mengaji atau bermain di rumah temannya yang lain, aku mengetuk pintu rumahnya, tapi tak ada sahutan.
            “Mita soe[7] Dek?” celetuk salah seorang tetangganya yang kebetulan lewat.
            “Maaf Bu, Ibu yang punya rumah ini dan anaknya kemana ya Bu?” tanyaku.
            “Owh Ibu itu baru saja pindah, karena gak tahan mengingat anaknya yang baru meninggal.”
            Aku tersentak dan kaget luar biasa, tapi aku merasa tak percaya, “Maksud Ibu… Icut …”  suaraku tertahan.
            “Iya Dek, Icut tiga hari yang lalu kecelakaan ia di tabrak ama sepeda motornya anak SMA yang suka ngebut itu. Kasian tu anak, malang benar nasibnya ia menyusul ayahnya yang juga meninggal tertabrak.”
            Serasa disambar petir, aku lemas dan berusaha mengatur jalan oksigen untuk masuk ke tubuhku, dadaku benar-benar menyesak mendengar berita itu, Ilham yang sedari tadi hanya diam ikut menangis.
            “Innalillahi wainnailaihi rojiun… ya Allah…” kucoba ikhlaskan hatiku menerima kenyataan ini sambil terus menangis lemas, walaupun baru beberapa bulan mengenalnya tapi aku sudah merasa begitu dekat dengannya, dia adik yang paling kusayang, dan aku hanya bisa memandang sedih  jilbab biru buat Icutku, jilbab yang tak kan pernah terpakai olehnya.



[1] Blo pue =  Beli apa
[2] Loen tinggai siat = Aku tinggalin sebentar
[3] Keu soe =Untuk siapa
[4] Soe jih = Siapa dia
[5] Mobil angkutan umum
[6] Loen jak jeut = saya ikut boleh
[7] Mita soe = Cari siapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar